Persidangan
gugatan pembatalan perjanjian yang diajukan PT Metro Batavia (Batavia
Air) terhadap Sabre Inc memasuki babak akhir. Para pihak mengajukan
kesimpulan atas persidangan yang berlangsung sejak akhir November 2009
lalu. Dalam kesimpulannya yang disampaikan Selasa (16/2), di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, para pihak kekeuh pada argumeh masing-masing.
Pihak Batavia berkeras ingin ‘menceraikan’ perusahaan asal Amerika itu.
Sementara, Sabre Inc menolak pembatalan perjanjian.
Untuk
menguatkan dalilnya, para pihak bahkan ‘mengadu’ pendapat ahli yang
diajukan masing-masing pihak. Batavia Air menjagokan pendapat ahli hukum
dagang internasional Tineke Longdong. Ketika memberikan keterangan
Tineke berpendapat bahwa perjanjian perdata internasional di mana
drafnya dipersiapkan salah satu pihak terlebih dahulu, dapat
dikategorikan sebagai perjanjian baku.
Menurut
Tineke, dalam perjanjian baku kedudukan para pihak cenderung tidak
seimbang. Pihak yang lebih menguasai permasalahan mempunyai kedudukan
yang lebih tinggi. Dengan begitu, pihak tersebut memiliki pengaruh
tertentu untuk ‘memaksa’ pihak lain untuk menyepakati perjanjian baku
itu.
Kuasa
hukum Batavia Air menyatakan kontrak Perjanjian Layanan Teknologi
Informasi (IT) yang dibuat 15 Maret 2002 merupakan perjanjian yang
dibuat lebih dulu oleh Sabre Inc. Lewat kontrak itu, Sabre memberikan
pelayanan yang mengatur dan mempermudah proses ticketing pesawat, termasuk reservasi, penjualan, refund, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan distribusi.
Guna
melaksanakan hal-hal teknis dalam perjanjian itu, Sabre secara sepihak
juga membuat lampiran-lampiran perintah kerja. Dalam perjalanannya,
Batavia menilai kontrak tersebut tidak menguntungkan dan cenderung
merugikan maskapai penerbangan itu.
Batavia
merasa layanan Sabre buruk dan tidak sesuai dengan yang semestinya. Di
samping itu, Batavia Air juga mengklaim pihaknya mendapatkan kesulitan
dalam memperoleh layanan yang cepat, mengingat tergugat tidak mempunyai
kantor perwakilan di Indonesia.
Dengan alasan itu Batavia kekeuh
membatalkan perjanjian. Apalagi hal itu dikuatkan dengan pendapat
Tineke yang menyatakan jika terjadi ketidakseimbangan dalam kontrak
dagang internasional, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan
pembatalan.
Sementara,
pihak Sabre Inc menjagokan pendapat dari Hikmahanto Juwana. Mantan
Dekan FH Universitas Indonesia itu menyatakan tidak semua perjanjian
baku mengandung paksaan. Meski kedudukan para pihak tidak seimbang,
pihak yang menerima perjanjian itu tetap memiliki kehendak bebas.
Artinya, bisa menerima atau menolak klausul-klausul kontrak baku.
Apalagi, kontrak baku lazim berlaku di dalam masyarakat.
Ketika
memberikan keterangan di persidangan, Hikmahanto menyatakan kesepakatan
para pihak atas kontrak baku terlihat dari konfirmasi lisan,
penandatanganan atau pemberian simbol cap di suatu perjanjian. Indikasi
lain, konsistensi para pihak untuk melaksanakan pembayaran atau
menegosiasikan ulang kontrak. Hal itu menjadi bukti kuat bahwa suatu
pihak mengetahui dan memahami isi perjanjian serta hak dan kewajibannya
dengan baik.
Kuasa hukum Sabre Inc Christian Teo & Associates menyatakan perjanjian layanan Information Technology
(IT) dibuat tanpa unsur paksaan, penyesatan maupun penipuan. Dengan
begitu berlaku secara sah dan mengikat bagi para pihak. Sesuai kontrak,
masa perjanjian berlangsung selama sembilan tahun dan berakhir pada
2011. Apalagi, perjanjian itu telah berlangsung selama lima tahun sejak
ditandatangani. Selama berlangsung tidak ada keluhan dan keberatan dari
Batavia Air.
Diakui
Sabre Inc, pada Desember 2007, memang terjadi sengketa antara ke dua
belah pihak. Namun hal itu disebabkan Batavia yang lalai melaksanakan
kewajiban. Bahkan pada 25 April 2008, Batavia mengajukan permintaan
diskon atas utangnya. Dengan begitu, Batavia mengakui memiliki kewajiban
pada Sabre Inc. Karena itu, Sabre meminta majelis hakim menolak gugatan
Batavia Air.